Buku sejarah tak pernah mencatat perkembangan masyarakatnya. Tak ada peninggalan gerabah, tak ada peninggalan berupa prasasti, apalagi peninggalan zaman kerajaan. Tak seperti daerah lain di Indonesia, tak pernah ada kerajaan yang berdiri di tanah Papua. Yang ada hanyalah suku-suku yang kebanyakan masih belum mengenal arti kata berpakaian. Mereka berada jauh dari peradaban manusia modern. Meski demikian, panorama indah yang menggetarkan kalbu dan sumber kekayaan alam yang memenuhi pulau burung ini, selalu menjadi cerita tersendiri. Papua bagaikan setitik mutiara hitam di deretan jamrud khatulistiwa. Terletak di ujung timur, ribuan kilometer dari pusat pemerintahan negeri ini, Papua seolah tak mendapat sentuhan pemberdayaan. Entah itu dari segi pembangunan fisik ataupun mental sumber daya manusianya. Yang ada hanyalah tangan-tangan kejam yang mencabik sumber daya alam dan menggerogotinya habis-habisan. Masyarakat asli Papua hampir tak dapat mengecap kekayaan alam mereka. Yang disisakan hanya sebuah duka, kemelaratan dan penderitaan tak berujung. Pendidikan yang menjadi ujung tombak pembangunan, nyatanya masih belum menyentuh Papua dengan maksimal. Tujuh tahun lalu, penulis berkunjung ke Papua dan salah satu kota yang disinggahi adalah Nabire. Saat itu, penulis melihat ada satu sekolah yang menggunakan pola pendidikan berasrama. Pola pendidikan berasrama ini digarap dengan tujuan untuk memberikan paradigma yang baru pada anak-anak Papua dari usia muda. Diharapkan setelah mereka dewasa, mereka dapat mengecap pendidikan dengan layak dan juga memahami arti kesehatan, peradaban dan kemasyarakatan secara umum. Bagaimanapun, mereka tidak dapat terus menerus tinggal di honai (rumah adat) yang pengap karena asap, bertelanjang kaki dan juga tidak berpakaian sama sekali. Di sekolah itu, mereka tidak hanya memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi juga mendapat pembelajaran etika dan nilai sosial kemasyarakatan yang umum, seperti berpakaian, mengenakan alas kaki, mandi, mencuci pakaian dan sebagainya. Pdt. Daniel Alexander yang merintis keberadaan sekolah tersebut mengatakan bahwa ia mendapat visi untuk pemulihan bangsa Papua melalui pendidikan dan juga kesehatan. Bagi Daniel yang hanya lulusan SMU, memulai jalur pendidikan adalah hal yang tidak mudah. Ia sama sekali tidak memiliki latar belakang keguruan dan pendidikan. Karena itu, ia mengajak beberapa rekan guru dari Jawa untuk memulai visi ini. Diawali dengan membuka SMU di Wamena pada Juli 1991. Harapannya, dalam waktu singkat mereka mendapatkan sumber daya manusia yang siap diterjunkan ke masyarakat “Tapi, kami gagal. Rata-rata mereka tidak bisa membaca dan menulis. Selain itu, pola pikirnya begitu lambat. Banyak guru yang stres,” ungkapnya pilu. “Lalu, kami mengubah pemikiran kami. Program pendidikan kami awali sejak dini, yaitu mulai TK.” Program pendidikan ini dikerjakan Daniel dan kawan-kawan melalui pola Abraham. “Dalam Alkitab, Tuhan memanggil Abraham keluar dari lingkungan sanak keluarganya untuk dipersiapkan menjadi sebuah generasi baru. Dengan kata lain, anak-anak itu harus dipisahkan dari lingkungan keluarganya untuk menjadi generasi baru Papua dengan pola pikir dan cara hidup yang baru,” ujarnya. Apa yang dikatakan oleh pria kelahiran 22 Maret ini selaras dengan apa yang pernah dikisahkan oleh salah seorang pejabat di Papua. “Begitu masuk kota, mereka mengenakan pakaian dan berjualan di pasar. Tapi, saat kembali ke kampungnya, di perbatasan kota mereka sudah melepas semua pakaian dan kembali mengenakan koteka atau sali, bagi yang perempuan,” ujar J. Wenas saat masih menjabat sebagai bupati jayamiJaya. Atau, cerita yang lain lagi adalah kisah seorang anak pedalaman yang telah menjadi sarjana. Tatkala ia kembali ke pedalaman, ia tak kuasa menahan kebudayaan yang telah tertanam dalam benak dan hatinya selama bertahun-tahun. Akhirnya, ia kembali lagi mengenakan koteka. Entah Daniel pernah mendengar hal ini atau tidak. Yang jelas, ia merasa tidak mungkin mengubah pola hidup masyarakat Papua yang telah lama berurat akar itu melalui sebuah imbauan dan peraturan belaka. Ia memilih untuk ‘mengasingkan’ anak-anak ini dari lingkungannya dan membentuk sebuah generasi baru. Generasi yang akan mengubah wajah Papua. Dan itu, dimulainya sejak usia dini. Daniel mengaku sempat melihat rintangan di depannya. “Di Papua ini, kita tidak bisa menyentuh anak orang dengan sembarangan. Tidak mudah bagi mereka untuk menyerahkan anaknya ke tangan orang lain. Kami sempat kebingungan dan mencoba mencari alternatif lain. Bagaimana jika tidak perlu berasrama? Bagaimana jika hanya sekolah biasa?” kata pria yang dipanggil menjadi hamba Tuhan sejak 1972 ini. “Tidak ada cara lain. Tidak ada pilihan lain. Pola pendidikan berasrama adalah jawabannya,” tukasnya. Dengan pola pendidikan berasrama, maka ia dan tim kerjanya dapat mengajarkan pada anak-anak itu untuk hidup sehat dengan mandi dan selalu berganti pakaian yang bersih. Selain itu, mereka juga diajar makan dengan tertib dan sehat sehingga mereka tidak cepat terkena penyakit, khususnya sinusitis dan meningitis yang mematikan itu. Tanggal 17 Juli 1995, sebuah taman kanak-kanak dengan nama TK Anugerah Terpadu dibuka di Nabire, yang saat itu masih menjadi ibukota kabupaten Paniai. Pada tahun pertama itu, TK Anugerah mengasuh 30 anak dengan seorang tenaga pengajar, (alm) Ester Dina Yulianti. Proyek dikerjakan bersama PWKI (Persatuan Wanita Kristen Indonesia) Kabupaten Nabire. Kini, angkatan pertama ini telah duduk di bangku kelas 1 SMP Kristen Anak Panah Terpadu. Diakui oleh Dra. Hana S. Wijaya, Koordinator Program Pendidikan, bahwa masih ada anak-anak yang pola pikirnya lambat. “Ada yang maju sekali dengan nilai rata-rata 8. Tapi, ada juga yang nilai rata-ratanya 4 atau 5. Umumnya, dibandingkan nilai anak-anak Papua di sekolah lain, nilai rata-rata siswa kami di atas rata-rata. Kami selalu memberi nilai murni. Jadi bila nilainya kurang, ya mereka bisa saja tinggal kelas. Intinya, kami tidak akan membiarkan anak-anak semakin tertinggal jauh karena nilai yang dikatrol,” tutur wanita yang telah bergabung di proyek pendidikan sejak tahun 1996 ini. Tahun 2002 lalu, SD Kristen Agape mendapat kunjungan dari kantor wilayah Depdiknas kabupaten Nabire. “Tapi yang ditinjau hanya kelas I, II, dan III SD saja. Ketika diukur dari keterampilan membaca dan berhitung, anak-anak kami mendapat peringkat pertama di kabupaten Nabire,” ujar Hana tanpa dapat menyembunyikan rasa bangganya. Dalam perkembangannya, proyek pendidikan di Papua ini terus mendapatkan tambahan sumber daya manusia. Malah, sudah ada tenaga pengajar dengan latar belakang pendidikan S-2 di bidang pertanian. “Mereka berasal dari beragam suku dan daerah dengan latar belakang sosial yang berbeda-beda pula,” ungkap Daniel Alexander. Uniknya, semua tenaga pengajar, baik di TK, SD, SMP ini adalah fresh graduate alias belum pernah mengajar di mana pun sebelumnya. Sebagian besar disekolahkan oleh Daniel dan saat menjadi sarjana, mereka mengabdi pada pekerjaan besar ini. “Beberapa dari mereka adalah putera daerah,” imbuh Daniel tersenyum. Seiring dengan makin bertambahnya anak yang harus mengenyam pendidikan, TK pun ditambah. Di kawasan Kalibobo, ada TK Agape Terpadu. Di Karangmulya ada TK Sekina Glory Terpadu, lalu di Samabusa (kurang lebih 20 km dari kota Nabire) ada TK Eklesia Terpadu dan satu TK dibangun di wilayah pedalaman, yakni di kecamatan Sugapa. Namanya TK Cendrawasih Terpadu. Saat ini, sedang dipersiapkan satu TK lagi di daerah Monamani. Selepas TK, anak-anak ini akan dibawa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Untuk itu, telah dipersiapkan SD Kristen Agape Terpadu. Sekolah ini didirikan di atas tanah seluas 50 X 50 meter persegi di area Kalibobo. “SMP-nya sudah ada. Namanya SMP Anak Panah Terpadu. Lokasinya berhadapan persis dengan lokasi SD. Dua tahun lagi, kami sudah persiapkan SMU. Gedungnya jadi satu dengan SMP,” tutur Daniel. Daniel Alexander masih belum bisa bernapas lega sebelum ia dan rekan-rekan melihat buah dari pekerjaan mereka. “Saya masih harus menunggu mereka lulus SMU, menjadi sarjana dan bekerja untuk mengembangkan masyarakat mereka,” ujarnya. Namun, setidaknya ia bisa sedikit menarik napas karena saat ini proyeknya mendapat dukungan hampir dari semua lapisan masyarakat, termasuk para pejabat dan tokoh agama setempat. Manna Erina Ingin Jadi Polisi “Nama saya Erina. Umur saya…. ehm…. Saya dari suku Dawa. Kalau besar mau jadi polisi, eh polisi wanita.” Kalimat ini dilontarkan seorang bocah perempuan yang manis. Sayang, ia tidak pernah tahu usianya dengan pasti. Namun, itu tidak menghalangi keinginannya untuk menjadi sosok yang ia cita-citakan. Polisi, eh… polisi wanita. Di Sugapa, sebuah kecamatan yang terletak di ketinggian sekitar 2600 meter di atas permukaan laut, Erina bersama 8 orang kawannya berdiam dalam sebuah asrama. Jauh dari orangtua dan saudara. Rindukah Erina pada mereka? Ia hanya diam. Sesekali wajahnya mendongak ke atas, memamerkan senyum manis dengan deretan giginya yang putih. Hampir dua tahun Erina hidup terpisah dengan orangtuanya. Yang pasti, pada hari pasar, Erina dapat menjumpai orangtuanya yang berjual sayur mayur di pasar. Erina hanya pulang ke rumahnya yang berjarak dua hari perjalanan pada saat libur semester. Gadis yang tidak tahu jumlah saudaranya ini, meski kadang rindu dengan kampung halamannya, mengaku senang tinggal di asrama. “Bisa makan kenyang,” akunya polos. Seperti kebanyakan penduduk asli Papua, dulunya Erina juga hidup apa adanya dan makan dari tempat ia bisa mendapatkan makanannya. Di asrama, Erina makan nasi, setidaknya dua kali sehari, karena kadang mereka sarapan susu dan biskuit. Selain itu, Erina juga selalu berpakaian bersih dan mandi sehari sekali. Timotius Sapto, kepala asrama, mengatakan Erina dan kawan-kawannya selalu diajarkan kebersihan. “Kami selalu mengingatkan mereka untuk membuang ingus, tiap kali ada lelehan ingus di hidung mereka. Kami tak pernah bosan mengingatkan mereka. Suatu saat nanti, mereka akan ingat dan membuang ingus tanpa harus diperintah lagi,” tutur pria asal Jawa ini yang sudah berada di Sugapa selama tiga tahun ini. Tapi, tahun depan, Erina tidak bisa pulang ke rumah untuk waktu yang cukup lama. Pasalnya, Erina termasuk satu dari tiga anak lulusan TK Cendrawasih Terpadu Sugapa yang akan dikirim ke SD Kristen Agape Terpadu di Nabire pada tahun ajaran mendatang. Di kota yang ditempuh dengan pesawat terbang selama kurang lebih 45 menit ini, Erina akan melanjutkan pendidikan sekolah dasar. Di Nabire nantinya Erina akan berjuang untuk menempuh cita-citanya, yang mungkin bisa saja berubah menjadi guru atau dokter. Siapa tahu?
Senin, 03 Desember 2012
POLA HIDUP BERASRAMA DI PAPUA
Buku sejarah tak pernah mencatat perkembangan masyarakatnya. Tak ada peninggalan gerabah, tak ada peninggalan berupa prasasti, apalagi peninggalan zaman kerajaan. Tak seperti daerah lain di Indonesia, tak pernah ada kerajaan yang berdiri di tanah Papua. Yang ada hanyalah suku-suku yang kebanyakan masih belum mengenal arti kata berpakaian. Mereka berada jauh dari peradaban manusia modern. Meski demikian, panorama indah yang menggetarkan kalbu dan sumber kekayaan alam yang memenuhi pulau burung ini, selalu menjadi cerita tersendiri. Papua bagaikan setitik mutiara hitam di deretan jamrud khatulistiwa. Terletak di ujung timur, ribuan kilometer dari pusat pemerintahan negeri ini, Papua seolah tak mendapat sentuhan pemberdayaan. Entah itu dari segi pembangunan fisik ataupun mental sumber daya manusianya. Yang ada hanyalah tangan-tangan kejam yang mencabik sumber daya alam dan menggerogotinya habis-habisan. Masyarakat asli Papua hampir tak dapat mengecap kekayaan alam mereka. Yang disisakan hanya sebuah duka, kemelaratan dan penderitaan tak berujung. Pendidikan yang menjadi ujung tombak pembangunan, nyatanya masih belum menyentuh Papua dengan maksimal. Tujuh tahun lalu, penulis berkunjung ke Papua dan salah satu kota yang disinggahi adalah Nabire. Saat itu, penulis melihat ada satu sekolah yang menggunakan pola pendidikan berasrama. Pola pendidikan berasrama ini digarap dengan tujuan untuk memberikan paradigma yang baru pada anak-anak Papua dari usia muda. Diharapkan setelah mereka dewasa, mereka dapat mengecap pendidikan dengan layak dan juga memahami arti kesehatan, peradaban dan kemasyarakatan secara umum. Bagaimanapun, mereka tidak dapat terus menerus tinggal di honai (rumah adat) yang pengap karena asap, bertelanjang kaki dan juga tidak berpakaian sama sekali. Di sekolah itu, mereka tidak hanya memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi juga mendapat pembelajaran etika dan nilai sosial kemasyarakatan yang umum, seperti berpakaian, mengenakan alas kaki, mandi, mencuci pakaian dan sebagainya. Pdt. Daniel Alexander yang merintis keberadaan sekolah tersebut mengatakan bahwa ia mendapat visi untuk pemulihan bangsa Papua melalui pendidikan dan juga kesehatan. Bagi Daniel yang hanya lulusan SMU, memulai jalur pendidikan adalah hal yang tidak mudah. Ia sama sekali tidak memiliki latar belakang keguruan dan pendidikan. Karena itu, ia mengajak beberapa rekan guru dari Jawa untuk memulai visi ini. Diawali dengan membuka SMU di Wamena pada Juli 1991. Harapannya, dalam waktu singkat mereka mendapatkan sumber daya manusia yang siap diterjunkan ke masyarakat “Tapi, kami gagal. Rata-rata mereka tidak bisa membaca dan menulis. Selain itu, pola pikirnya begitu lambat. Banyak guru yang stres,” ungkapnya pilu. “Lalu, kami mengubah pemikiran kami. Program pendidikan kami awali sejak dini, yaitu mulai TK.” Program pendidikan ini dikerjakan Daniel dan kawan-kawan melalui pola Abraham. “Dalam Alkitab, Tuhan memanggil Abraham keluar dari lingkungan sanak keluarganya untuk dipersiapkan menjadi sebuah generasi baru. Dengan kata lain, anak-anak itu harus dipisahkan dari lingkungan keluarganya untuk menjadi generasi baru Papua dengan pola pikir dan cara hidup yang baru,” ujarnya. Apa yang dikatakan oleh pria kelahiran 22 Maret ini selaras dengan apa yang pernah dikisahkan oleh salah seorang pejabat di Papua. “Begitu masuk kota, mereka mengenakan pakaian dan berjualan di pasar. Tapi, saat kembali ke kampungnya, di perbatasan kota mereka sudah melepas semua pakaian dan kembali mengenakan koteka atau sali, bagi yang perempuan,” ujar J. Wenas saat masih menjabat sebagai bupati jayamiJaya. Atau, cerita yang lain lagi adalah kisah seorang anak pedalaman yang telah menjadi sarjana. Tatkala ia kembali ke pedalaman, ia tak kuasa menahan kebudayaan yang telah tertanam dalam benak dan hatinya selama bertahun-tahun. Akhirnya, ia kembali lagi mengenakan koteka. Entah Daniel pernah mendengar hal ini atau tidak. Yang jelas, ia merasa tidak mungkin mengubah pola hidup masyarakat Papua yang telah lama berurat akar itu melalui sebuah imbauan dan peraturan belaka. Ia memilih untuk ‘mengasingkan’ anak-anak ini dari lingkungannya dan membentuk sebuah generasi baru. Generasi yang akan mengubah wajah Papua. Dan itu, dimulainya sejak usia dini. Daniel mengaku sempat melihat rintangan di depannya. “Di Papua ini, kita tidak bisa menyentuh anak orang dengan sembarangan. Tidak mudah bagi mereka untuk menyerahkan anaknya ke tangan orang lain. Kami sempat kebingungan dan mencoba mencari alternatif lain. Bagaimana jika tidak perlu berasrama? Bagaimana jika hanya sekolah biasa?” kata pria yang dipanggil menjadi hamba Tuhan sejak 1972 ini. “Tidak ada cara lain. Tidak ada pilihan lain. Pola pendidikan berasrama adalah jawabannya,” tukasnya. Dengan pola pendidikan berasrama, maka ia dan tim kerjanya dapat mengajarkan pada anak-anak itu untuk hidup sehat dengan mandi dan selalu berganti pakaian yang bersih. Selain itu, mereka juga diajar makan dengan tertib dan sehat sehingga mereka tidak cepat terkena penyakit, khususnya sinusitis dan meningitis yang mematikan itu. Tanggal 17 Juli 1995, sebuah taman kanak-kanak dengan nama TK Anugerah Terpadu dibuka di Nabire, yang saat itu masih menjadi ibukota kabupaten Paniai. Pada tahun pertama itu, TK Anugerah mengasuh 30 anak dengan seorang tenaga pengajar, (alm) Ester Dina Yulianti. Proyek dikerjakan bersama PWKI (Persatuan Wanita Kristen Indonesia) Kabupaten Nabire. Kini, angkatan pertama ini telah duduk di bangku kelas 1 SMP Kristen Anak Panah Terpadu. Diakui oleh Dra. Hana S. Wijaya, Koordinator Program Pendidikan, bahwa masih ada anak-anak yang pola pikirnya lambat. “Ada yang maju sekali dengan nilai rata-rata 8. Tapi, ada juga yang nilai rata-ratanya 4 atau 5. Umumnya, dibandingkan nilai anak-anak Papua di sekolah lain, nilai rata-rata siswa kami di atas rata-rata. Kami selalu memberi nilai murni. Jadi bila nilainya kurang, ya mereka bisa saja tinggal kelas. Intinya, kami tidak akan membiarkan anak-anak semakin tertinggal jauh karena nilai yang dikatrol,” tutur wanita yang telah bergabung di proyek pendidikan sejak tahun 1996 ini. Tahun 2002 lalu, SD Kristen Agape mendapat kunjungan dari kantor wilayah Depdiknas kabupaten Nabire. “Tapi yang ditinjau hanya kelas I, II, dan III SD saja. Ketika diukur dari keterampilan membaca dan berhitung, anak-anak kami mendapat peringkat pertama di kabupaten Nabire,” ujar Hana tanpa dapat menyembunyikan rasa bangganya. Dalam perkembangannya, proyek pendidikan di Papua ini terus mendapatkan tambahan sumber daya manusia. Malah, sudah ada tenaga pengajar dengan latar belakang pendidikan S-2 di bidang pertanian. “Mereka berasal dari beragam suku dan daerah dengan latar belakang sosial yang berbeda-beda pula,” ungkap Daniel Alexander. Uniknya, semua tenaga pengajar, baik di TK, SD, SMP ini adalah fresh graduate alias belum pernah mengajar di mana pun sebelumnya. Sebagian besar disekolahkan oleh Daniel dan saat menjadi sarjana, mereka mengabdi pada pekerjaan besar ini. “Beberapa dari mereka adalah putera daerah,” imbuh Daniel tersenyum. Seiring dengan makin bertambahnya anak yang harus mengenyam pendidikan, TK pun ditambah. Di kawasan Kalibobo, ada TK Agape Terpadu. Di Karangmulya ada TK Sekina Glory Terpadu, lalu di Samabusa (kurang lebih 20 km dari kota Nabire) ada TK Eklesia Terpadu dan satu TK dibangun di wilayah pedalaman, yakni di kecamatan Sugapa. Namanya TK Cendrawasih Terpadu. Saat ini, sedang dipersiapkan satu TK lagi di daerah Monamani. Selepas TK, anak-anak ini akan dibawa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Untuk itu, telah dipersiapkan SD Kristen Agape Terpadu. Sekolah ini didirikan di atas tanah seluas 50 X 50 meter persegi di area Kalibobo. “SMP-nya sudah ada. Namanya SMP Anak Panah Terpadu. Lokasinya berhadapan persis dengan lokasi SD. Dua tahun lagi, kami sudah persiapkan SMU. Gedungnya jadi satu dengan SMP,” tutur Daniel. Daniel Alexander masih belum bisa bernapas lega sebelum ia dan rekan-rekan melihat buah dari pekerjaan mereka. “Saya masih harus menunggu mereka lulus SMU, menjadi sarjana dan bekerja untuk mengembangkan masyarakat mereka,” ujarnya. Namun, setidaknya ia bisa sedikit menarik napas karena saat ini proyeknya mendapat dukungan hampir dari semua lapisan masyarakat, termasuk para pejabat dan tokoh agama setempat. Manna Erina Ingin Jadi Polisi “Nama saya Erina. Umur saya…. ehm…. Saya dari suku Dawa. Kalau besar mau jadi polisi, eh polisi wanita.” Kalimat ini dilontarkan seorang bocah perempuan yang manis. Sayang, ia tidak pernah tahu usianya dengan pasti. Namun, itu tidak menghalangi keinginannya untuk menjadi sosok yang ia cita-citakan. Polisi, eh… polisi wanita. Di Sugapa, sebuah kecamatan yang terletak di ketinggian sekitar 2600 meter di atas permukaan laut, Erina bersama 8 orang kawannya berdiam dalam sebuah asrama. Jauh dari orangtua dan saudara. Rindukah Erina pada mereka? Ia hanya diam. Sesekali wajahnya mendongak ke atas, memamerkan senyum manis dengan deretan giginya yang putih. Hampir dua tahun Erina hidup terpisah dengan orangtuanya. Yang pasti, pada hari pasar, Erina dapat menjumpai orangtuanya yang berjual sayur mayur di pasar. Erina hanya pulang ke rumahnya yang berjarak dua hari perjalanan pada saat libur semester. Gadis yang tidak tahu jumlah saudaranya ini, meski kadang rindu dengan kampung halamannya, mengaku senang tinggal di asrama. “Bisa makan kenyang,” akunya polos. Seperti kebanyakan penduduk asli Papua, dulunya Erina juga hidup apa adanya dan makan dari tempat ia bisa mendapatkan makanannya. Di asrama, Erina makan nasi, setidaknya dua kali sehari, karena kadang mereka sarapan susu dan biskuit. Selain itu, Erina juga selalu berpakaian bersih dan mandi sehari sekali. Timotius Sapto, kepala asrama, mengatakan Erina dan kawan-kawannya selalu diajarkan kebersihan. “Kami selalu mengingatkan mereka untuk membuang ingus, tiap kali ada lelehan ingus di hidung mereka. Kami tak pernah bosan mengingatkan mereka. Suatu saat nanti, mereka akan ingat dan membuang ingus tanpa harus diperintah lagi,” tutur pria asal Jawa ini yang sudah berada di Sugapa selama tiga tahun ini. Tapi, tahun depan, Erina tidak bisa pulang ke rumah untuk waktu yang cukup lama. Pasalnya, Erina termasuk satu dari tiga anak lulusan TK Cendrawasih Terpadu Sugapa yang akan dikirim ke SD Kristen Agape Terpadu di Nabire pada tahun ajaran mendatang. Di kota yang ditempuh dengan pesawat terbang selama kurang lebih 45 menit ini, Erina akan melanjutkan pendidikan sekolah dasar. Di Nabire nantinya Erina akan berjuang untuk menempuh cita-citanya, yang mungkin bisa saja berubah menjadi guru atau dokter. Siapa tahu?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar