Senin, 03 Desember 2012

POLA HIDUP BERASRAMA DI PAPUA

Pendidikan Berasrama di Papua Sebuah pola persiapan generasi baru

 Buku sejarah tak pernah mencatat perkembangan mas­yarakatnya. Tak ada peninggalan gerabah, tak ada pe­ninggalan berupa prasasti, apalagi peninggalan za­man kerajaan. Tak seperti daerah lain di Indonesia, tak pernah ada kerajaan yang berdiri di tanah Papua. Yang ada hanyalah suku-suku yang keba­nyakan masih be­lum mengenal arti kata berpakaian. Mereka berada ja­uh dari peradaban manusia modern. Meski de­mi­ki­an, panorama indah yang meng­ge­tar­kan kalbu dan sum­­ber kekayaan alam yang memenuhi pulau burung ini, selalu menjadi cerita tersendiri. Papua bagaikan setitik mutiara hitam di deretan ja­mrud khatulistiwa. Terletak di ujung timur, ribuan ki­lo­meter dari pusat pemerintahan negeri ini, Papua se­olah tak mendapat sentuhan pemberdayaan. Entah i­tu dari segi pembangunan fisik ataupun mental sum­ber daya manusianya. Yang ada hanyalah tangan-ta­ngan kejam yang mencabik sumber daya alam dan meng­­­gerogotinya habis-habisan. Masyarakat asli Pa­pua hampir tak dapat mengecap keka­ya­an alam me­re­ka. Yang disisakan hanya sebu­ah duka, kemelaratan dan penderitaan tak ber­ujung. Pendidikan yang men­ja­di ujung tom­bak pembangunan, nyatanya masih be­lum menyentuh Papua dengan maksimal. Tujuh tahun lalu, penulis berkunjung ke Papua dan salah satu kota yang dising­gahi adalah Nabire. Saat itu, penulis melihat ada satu sekolah yang menggunakan pola pen­didikan berasrama. Pola pendidikan berasrama ini digarap dengan tujuan untuk memberikan paradigma yang baru pada anak-anak Papua dari usia muda. Diharap­kan setelah mereka dewasa, mereka dapat mengecap pendidikan dengan layak dan juga memahami arti kesehatan, peradaban dan kemasyarakatan secara umum. Bagai­ma­­napun, mereka tidak dapat terus mene­rus tinggal di honai (rumah adat) yang pe­ngap karena asap, bertelanjang kaki dan ju­ga tidak berpakaian sama sekali. Di sekolah itu, mereka tidak hanya memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi juga mendapat pembelajaran etika dan nilai sosial kema­syarakatan yang umum, seperti berpakaian, mengenakan alas kaki, mandi, mencuci pakaian dan sebagainya. Pdt. Daniel Alexander yang merintis keberadaan sekolah tersebut mengatakan bahwa ia mendapat visi untuk pemulihan bangsa Papua melalui pendidikan dan juga kesehatan. Bagi Daniel yang hanya lulusan SMU, memulai jalur pendidikan adalah hal yang tidak mudah. Ia sama sekali tidak memiliki latar belakang keguruan dan pendidikan. Karena itu, ia mengajak beberapa rekan guru dari Jawa untuk memulai visi ini. Diawali dengan membuka SMU di Wamena pada Juli 1991. Hara­pan­nya, dalam waktu singkat mereka menda­pat­kan sumber daya manusia yang siap diterjunkan ke masyarakat “Tapi, kami gagal. Rata-rata mereka tidak bisa membaca dan menulis. Selain itu, pola pikirnya begitu lambat. Banyak guru yang stres,” ungkap­nya pilu. “Lalu, kami mengubah pemikiran ka­mi. Program pendidikan kami awali sejak di­ni, yaitu mulai TK.” Program pendidikan ini dikerjakan Daniel dan kawan-kawan melalui pola Abraham. “Dalam Alkitab, Tuhan memang­gil Abraham keluar dari lingkungan sanak keluarganya untuk dipersiapkan menjadi sebuah generasi baru. Dengan kata lain, anak-anak itu harus dipisahkan dari lingkungan keluarganya untuk menjadi generasi baru Papua dengan pola pikir dan cara hidup yang baru,” ujarnya. Apa yang dikatakan oleh pria kelahiran 22 Maret ini selaras dengan apa yang pernah dikisahkan oleh salah seorang pejabat di Papua. “Begitu masuk kota, mereka mengenakan pakaian dan berjualan di pasar. Tapi, saat kembali ke kampungnya, di perbatasan kota mereka sudah melepas semua pakaian dan kembali mengenakan koteka atau sali, bagi yang perempuan,” ujar J. Wenas saat masih menjabat sebagai bupati jayamiJaya. Atau, cerita yang lain lagi adalah kisah seorang anak pedalaman yang telah menjadi sarjana. Tatkala ia kembali ke pedalaman, ia tak kuasa menahan kebudayaan yang telah tertanam da­lam benak dan hatinya selama bertahun-ta­hun. Akhirnya, ia kembali lagi menge­na­kan koteka. Entah Daniel pernah mendengar hal ini a­tau tidak. Yang jelas, ia merasa ti­dak mung­kin me­ngu­bah pola hidup ma­syarakat Pa­pua­ yang te­lah lama be­r­­u­rat akar itu melalui se­buah im­ba­uan dan pe­­­r­a­­tu­ran belaka. Ia me­­­mi­lih untuk ‘me­nga­­­sing­kan’ anak-a­nak ini dari ling­ku­ngannya dan mem­­­bentuk se­bu­ah gene­rasi baru. Ge­ne­­ra­si yang a­kan me­ngu­­bah wa­jah Pa­pua. Dan itu, dimulainya se­­jak usia dini. Daniel me­­nga­ku sempat me­li­hat rin­ta­ngan di depan­nya. “Di Papua ini, kita tidak bisa menyen­tuh anak orang dengan sembarangan. Tidak mu­dah bagi mereka untuk menyerahkan anak­nya ke tangan orang lain. Kami sempat kebingungan dan mencoba mencari alterna­tif lain. Bagaimana jika tidak perlu berasra­ma? Bagaimana jika hanya sekolah biasa?” ka­ta pria yang dipanggil menjadi hamba Tuhan sejak 1972 ini. “Tidak ada cara lain. Ti­dak ada pilihan lain. Pola pendidikan ber­asrama adalah jawabannya,” tukasnya. Dengan pola pendidikan berasrama, maka ia dan tim kerjanya dapat menga­jar­kan pada anak-anak itu untuk hidup sehat de­ngan mandi dan selalu berganti pakaian yang bersih. Selain itu, mereka juga diajar makan dengan tertib dan sehat sehingga mereka tidak cepat terkena penyakit, khususnya sinusitis dan meningitis yang mematikan itu. Tanggal 17 Juli 1995, sebuah taman kanak-kanak dengan nama TK Anugerah Terpadu dibuka di Nabire, yang saat itu masih menjadi ibukota kabupaten Paniai. Pada tahun pertama itu, TK Anugerah mengasuh 30 anak dengan seorang tenaga pengajar, (alm) Ester Dina Yulianti. Proyek dikerjakan bersama PWKI (Persatuan Wanita Kristen Indonesia) Kabupaten Nabire. Kini, angkatan pertama ini telah duduk di bangku kelas 1 SMP Kristen Anak Panah Terpadu. Diakui oleh Dra. Hana S. Wijaya, Koordinator Program Pendidikan, bahwa masih ada anak-anak yang pola pikirnya lambat. “Ada yang maju sekali dengan nilai rata-rata 8. Tapi, ada juga yang nilai rata-ratanya 4 atau 5. Umumnya, dibandingkan nilai anak-anak Papua di sekolah lain, nilai rata-rata siswa kami di atas rata-rata. Kami selalu memberi nilai murni. Jadi bila nilainya kurang, ya mereka bisa saja tinggal kelas. Intinya, kami tidak akan membiarkan anak-anak semakin tertinggal jauh karena nilai yang dikatrol,” tutur wanita yang telah bergabung di proyek pendidikan sejak tahun 1996 ini. Tahun 2002 lalu, SD Kristen Agape mendapat kunjungan dari kantor wilayah Depdiknas kabupaten Nabire. “Tapi yang ditinjau hanya kelas I, II, dan III SD saja. Ketika diukur dari keterampilan membaca dan berhitung, anak-anak kami mendapat peringkat pertama di kabupaten Nabire,” ujar Hana tanpa dapat menyembunyikan rasa bangganya. Dalam perkembangannya, proyek pen­di­dikan di Papua ini terus mendapatkan tam­­bahan sumber daya manusia. Malah, su­dah ada tenaga pengajar dengan latar bela­kang pendidikan S-2 di bidang perta­nian. “Me­reka berasal dari beragam suku dan da­e­rah dengan latar belakang sosial yang ber­be­da-beda pula,” ungkap Daniel Alexander. U­nik­nya, semua tenaga penga­jar, baik di TK, SD, SMP ini adalah fresh graduate alias be­lum pernah mengajar di ma­na pun se­be­lum­nya. Sebagian besar diseko­lah­kan oleh Da­niel dan saat menjadi sar­ja­na, mereka me­ngabdi pada pekerjaan besar ini. “Be­be­rapa dari mereka adalah putera dae­rah,” im­buh Daniel tersenyum. Seiring dengan makin bertambahnya a­nak yang harus mengenyam pendidikan, TK­ pun ditambah. Di kawasan Kalibobo, a­da TK Agape Ter­­padu. Di Ka­rangmulya ada TK Se­kina Glory Ter­padu, lalu di Sa­ma­busa (kurang le­bih 20 km dari ko­ta Nabire) ada TK Eklesia Ter­padu dan satu TK di­bangun di wi­layah pedalaman, yak­ni di ke­ca­ma­tan Sugapa. Na­ma­nya TK Cen­dra­wasih Terpadu. Saat ini, sedang di­per­siapkan satu TK lagi di daerah Mo­na­mani. Selepas TK, anak-anak ini akan dibawa ke jenjang pen­didikan yang lebih ting­gi. Untuk itu, telah diper­siapkan SD Kristen Agape Ter­padu. Sekolah ini di­diri­kan di atas tanah selu­as 50 X ­50 meter persegi di area Ka­libobo. “SMP-nya sudah ada. Nama­nya SMP Anak Pa­nah Terpa­du. Loka­si­nya ber­hadapan persis dengan lokasi SD. Dua tahun lagi, kami sudah per­si­apkan SMU. Ge­dungnya ja­di satu dengan SMP,” tu­tur Daniel. Daniel Alexander masih belum bisa ber­na­pas lega sebelum ia dan rekan-rekan me­li­hat buah dari pekerjaan mereka. “Saya ma­sih harus menunggu mereka lulus SMU, men­­jadi sarjana dan bekerja untuk me­ngem­­­bangkan masyarakat mereka,” ujar­nya. Namun, setidaknya ia bisa sedikit me­na­­­rik napas karena saat ini proyeknya men­da­pat dukungan hampir dari semua lapisan mas­yarakat, termasuk para pejabat dan to­koh agama setempat. Manna Erina Ingin Jadi Polisi “Nama saya Erina. Umur saya…. ehm…. Saya dari suku Dawa. Kalau besar ma­u jadi polisi, eh polisi wanita.” Kalimat ini dilontarkan seorang bocah perempuan yang manis. Sayang, ia tidak pernah tahu usi­anya dengan pasti. Namun, itu tidak meng­halangi keinginannya untuk menjadi sosok yang ia cita-citakan. Polisi, eh… polisi wanita. Di Sugapa, sebuah kecamatan yang terletak di ketinggian sekitar 2600 meter di atas permukaan laut, Erina bersama 8 orang kawannya berdiam dalam sebuah asrama. Jauh dari orangtua dan saudara. Rindukah Erina pada mereka? Ia hanya diam. Sesekali wajahnya mendongak ke atas, memamerkan senyum manis dengan deretan giginya yang putih. Hampir dua tahun Erina hidup terpisah dengan orangtuanya. Yang pasti, pada hari pasar, Erina dapat menjumpai orangtuanya yang berjual sayur mayur di pasar. Erina hanya pulang ke rumahnya yang berjarak dua hari perjalanan pada saat libur semester. Gadis yang tidak tahu jumlah saudaranya ini, meski kadang rindu dengan kampung halamannya, mengaku senang tinggal di asrama. “Bisa makan kenyang,” akunya polos. Seperti kebanyakan penduduk asli Papua, dulunya Erina juga hidup apa adanya dan makan dari tempat ia bisa mendapatkan makanannya. Di asrama, Erina makan nasi, setidaknya dua kali sehari, karena kadang mereka sarapan susu dan biskuit. Selain itu, Erina juga selalu berpakaian bersih dan mandi sehari sekali. Timotius Sapto, kepala asrama, mengatakan Erina dan kawan-kawannya selalu diajarkan kebersihan. “Kami selalu mengingatkan mereka untuk membuang ingus, tiap kali ada lelehan ingus di hidung mereka. Kami tak pernah bosan mengingatkan mereka. Suatu saat nanti, mereka akan ingat dan membuang ingus tanpa harus diperintah lagi,” tutur pria asal Jawa ini yang sudah berada di Sugapa selama tiga tahun ini. Tapi, tahun depan, Erina tidak bisa pulang ke rumah untuk waktu yang cukup lama. Pasalnya, Erina termasuk satu dari tiga anak lulusan TK Cendrawasih Terpadu Sugapa yang akan dikirim ke SD Kristen Agape Terpadu di Nabire pada tahun ajaran mendatang. Di kota yang ditempuh dengan pesawat terbang selama kurang lebih 45 menit ini, Erina akan melanjutkan pendidikan sekolah dasar. Di Nabire nantinya Erina akan berjuang untuk menempuh cita-citanya, yang mungkin bisa saja berubah menjadi guru atau dokter. Siapa tahu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar